About Me

Foto saya
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
The cutest killing machine
Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Afikaaa.. :)

Nih gan, ada iklan kesayangan gue. imut bangett. pengen cubiit" sii imyuut afikaa.. hehehe


nih, juga ada duplikat iklan yang gag kalah lucunyaa.. tapi agag geje gituu.. -lol-

aku jg punya lagi nih, gambar" imutnya si afika pas waktu di iklan oweo lasa oleng.. wkwk.. bner" mirip aku yah???





lucu kan yaaah?? gara" imutnya afika uda booming di dunia internet.. ewh, ak pernah dipanggil afika sma temenku.. mungkin aku imut kali yaa.. wkwkwk

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Teori Psikology Humanistik dan Konstruktivistik ^^

BAB II
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Ini berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak tergantung dari bagaimana cara proses belajar yang di alami oleh siswa sebagai anak didik.
            Pemakaian teori-teori belajar dengan situasi formal lebih di batasi  dalam lembaga pendidikan formal, yaitu sekolah. Pandangan/ teori tentang belajar menurut ahli tertentu akan mennentukan bagaimana seharunya “menciptakan” belajar itu sendiri, dan usaha itu lazimnya dikenal dengan mengaja. 
            Dalam belajar seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Sehingga bagi pelajar adalah penting untuk mengetahui faktor-faktor yang di maksud. Hal ini menjadi lebih penting tidak hanya bagi (calon-calon) pendidik, pembimbing dan pengajar di dalam mengatur dan mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi belajar sedemikian hingga dapat terjadi proses belajar yang optimal.
            Di dalam proses belajar mengajar terjadilah sebuah interaksi antara berbagai komponen yang setiap komponen di usahakan saling pengaruh-mempengaruhi sedemikian hingga dapat tercapai tujuan pendidikan dan pengajaran. Permasalahan muncul ketika bagaimana kita dapat mengenal siswa, aspek/ karakteristik apa yang dimilikinya serta bagaimana cara-cara untuk mempengaruhinya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari teori-teori belajar Humanistik dan Konstruktivistik?
2.      Bagaimana konsep dari masing-masing teori belajar tersebut, siapa sajakah tokoh-tokohnya?
3.      Apa kekurangan dan kelebihan dari masing-masing teori tersebut?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Teori Belajar Humanistik
1.      Pengertian dan Sejarah Teori Belajar Humanistik
Pada akhir tahun 1940-an muncul sebuah perspektif psikologi baru. Sehingga Orang-orang yang terlibat dalam penerapan psikologi menjadi orang-orang yang berjasa dalam perkembangan ini, misalnya ahli psikologi-psikologi klinik, pekerja-pekerja sosial dan konseler, itu semua bukan dilakukan dari hasil penelitian dalam bidang proses belajar. Namun, Gerakan ini berkembang, dan dikenal sebagai psikologi humanistik, ekstensial, perceptual, atau fenomologikal. Psikologi yang  berusaha untuk memahami perilaku seseorang dari sudut pelaku (behaver), bukan dari pengamat (observer).
Dalam dunia pendidikan teori Humanistik muncul pada tahun 1960 sampai dengan 1970-an dan mungkin perubahan-perubahan dan inovasi yang terjadi selama dua dekade yang terakhir pada abad 20 inipun juga akan menuju pada arah ini.[1]
Teori Humanistik mengemukakan bahwa kreativitas sebagai hasil dari kesehatan psikologis tingkat tinggi dan  teori ini percaya bahwa kreativitas dapat berkembang selama hidup.[2]
Perhatian psikologi tertuju pada masalah bagaimana tiap-tiap individu dipengaruhi dan di bimbing oleh maksud-maksud pribadi  yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Menurut para pendidik aliran humanistik, penyusunan dan penyajian materi pelajaran harus sesuai dengan perasaan dan perhatian siswa. Tujuan utama pada pendidikan ialah membantu anak untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantunya dalam merealisasikan/ mewujudkan potensi-potensi yang ada pada diri mereka. tiap orang itu menentukan perilaku mereka sendiri, mereka bebas memilih kualitas hidup mereka, dan tidak terikat oleh lingkungannya.[3]

2.      Konsep Belajar Humanisme
Salah satu ide yang penting dalam pendidikan humanistik adalah siswa harus mempunyai kemampuan untuk mengarahkan sendiri perilakunya dalam belajar (self regulated learning) apa yang akan dipelajari dan sampai tingkatan mana, kapan, dan bagaimana siswa belajar mengarahkan diri sendiri, sekaligus memotivasi diri sendiri dalam belajar daripada sekadar menjadi penerima pasif dalam proses belajar. Dari beberapa penelitian dengan mengarahkan dan memotivasi diri sendiri, siswa lebih memiliki motivasi besar untuk belajar.
Aliran humanistik memandang bahwa belajar bukan sekadar pengembangan kualitas kognitif saja, melainkan juga sebuah proses yang terjadi dalam diri individu yang melibatkan seluruh bagian atau domain yang ada. Domain-domain tersebut meliputi domain kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dengan kata lain, pendekatan humanistic dalam pembelajaran menekankan pentingnya emosi atau perasaan, komunikasi yang terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap siswa. Sehingga tujuan yang ingin dicapai dalam proses belajar itu tidak hanya dalam domain kognitif saja, tetapi juga bagaimana siswa menjadi individu yang bertanggung jawab, penuh perhatian terhadap lingkungannya, mempunyai kedewasaan emosi dan spiritual. Untuk mengembangkan nilai-nilai tersebut dalam diri siswa, para pendidik aliran humanistik menyarankan sebuah metode pembelajaran yang dapat mengasah nilai-nilai kemanusiaan tersebut. Menurut para pendidik humanistic, hendaknya guru lebih menekankan nilai-nilai kerja sama, saling membantu dan menguntungkan, kejujuran dan kreativitas untuk diaplikasikan dalam proses pembelajaran.
Prinsip lain dalam proses pembelajaran humanistik adalah bahwa proses pembelajaran harus mengajarkan siswa bagaimana belajar dan menilai kegunaan belajar itu bagi dirinya sendiri. Dalam proses pembelajaran, setiap guru pasti mengharapkan siswa-siswanya mengembangkan sikap yang positif dalam belajar dan mampu menggunakan berbagai macam sumber untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Akan tetapi, para pendidik humanistik lebih menekankan lagi pada tujuan dan desain pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menentukan bagi diri mereka sendiri atau paling tidak dengan bimbingan yang seminimal mungkin dari guru.

3.      Para Tokoh teori belajar yang bersifat Humanistik
a.       Combs
Untuk memahami perilaku seseorang, maka kita harus mencoba memahami dunia persepsi orang itu, dengan kata lain, apabila kita ingin merubah perilaku seseorang, kita harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan orang itu, dari Perilaku dalamlah yang membedakan seseorang dengan lain. Untuk itu dalam proses belajar, ada dua hal yang penting, yaitu:
·         Pemerolehan informasi baru,
·         Personalisasi informasi ini pada individu. Dengan personalisasi, yang dimaksudkan bahwa seseorang memperoleh arti dari informasi yang diperolehnya itu bagi dirinya.
Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa   siswa mau belajar apabila subjek matter-nya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal “arti” tidaklah menyatu pada subjek matter itu; dengan kata lain, bahwa  individulah yang memberikan arti pada subyek matter itu. Sehingga yang penting menurut Combs adalah bagaimana caranya membawa si siswa untuk memperoleh “arti bagi pribadinya” dari suyek matter itu; atau bagaimana siswa itu menggabungkan bahan pelajaran dengan kehidupannya.
Comb memeberikan lukisan tentang “persepsi diri” dan “persepsi dunia” seseorang seperti dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat satu.
1)      lingkaran kecil adalah gambaran dari persepsi diri; dan
2)      lingkaran besar adalah gambaran tentang persepsi dunia.[4] Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari “persepsi diri”, makin berkurang pengaruhnya pada individu, dan makin dekat peristiwa-peristiwa itu dari “persepsi diri”, makin besar pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.
b.      Maslow
Teorinya didasarkan atas asumsi bahwa di dalam diri seseorang itu ada dua hal:
1)      suatu usaha yang positif untuk berkembang, dan
2)      kekuatan untuk melawan dan memolak perkembangan itu. Tetapi dalam dirinya juga terdapat dorongan yang mendorong seseorang untuk maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah percayaan diri dalam menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri (self). Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) mausia itu secara hierarchis menjadi:
a)      kebutuhan fisiologis.
b)      kebutuhan akan rasa aman (safety).
c)      kebutuhan akan cinta kasih dan memiliki/ dimiliki (love and belonging).
d)     kebutuhan untuk mengetahui dan mengartikan sesuatu.
e)      kebutuhan akan penghargaan.
f)       kebutuhan akan kebebasan bertingkah laku tanpa hambatan-hambatan dari luar
Bila seseorang telah memenuhi kebutuhan yang pertama (kebutuhan fisiologis) ia dapat menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya, yaitu kebutuhan untuk mendapatkan rasa aman, dan seterusnya. Hierarchi kebutuhan ini, mempunyai implikasi yang penting dan harus di perhatikan dalam proses belajar; karena perhatian dan potensi belajar tidak mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar si siswa belum terpenuhi.[5]
c.       Rogers
Menurut Carl Rogers (1902-1987) tiga kondisi Internal dari pribadi yang kreatif adalah:
·         Keterbukakan dalam pengalaman
·         Kemampuan untuk menilai situasi sesuai dengan patokan pribadi seseorang (internal locus of evaluation)
·         Kemampuan untuk bereksperimen, untuk “bermain” dengan konsep-konsep
Setiap orang yang mempunyai ketiga ciri ini kesehatan psikologisnya sangat baik. Orang ini dapat berfungsi sepenuhnya, menghasilkan karya-karya kreatif, dan hidup secara kreatif. Ketiga ciri atau kondisi tersebut juga merupakan dorongan dalam (internal press) untuk berkreasi.
Teori humanistik lebih menekankan pada kesehatan psikologis yang memungkinkan seseorang mengatasi masalah kehidupan. Yang bertitik  tolak dari pandangan bahwa manusia menentukan nasibnya sendiri karena kreativitas dilahirkan karena adanya dorongan untuk mencapai kemungkinan-kemungkinan yang tertinggi dan bukan sebagai mekanisme pertahanan terhadap neurosis.[6]
Ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip belajar humanistik yang penting, diantaranya:
·         Manusia mempunyai kemampuan untuk belajar secara alami
·         Belajar yang signifikan terjadi apabila bahan pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksudnya sendiri
·         Belajar  menyangkut suatu perubahan di dalam presepsi mengenai dirinya sendiri, di anggap mengancam dan cenderung di tolaknya
·         Tugas belajar yang mengancam diri adalah lebih mudah dirasakan dan di asimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil
·         Apabila ancaman terhadap siswa telah rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai caraberbeda-beda dan terjadilah proses belajar
·         Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya
·         Belajar di perlancar bila siswa dilibatkan dalam proses belajar itu dan bertanggung jawab terhadap proses belajar itu.
·         Belajar atas inisiatif sendiri yang melihatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan atau intelek, merupakan cara cepat dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari
·         Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan kreaktivitas lebih mudah di capai apabila terutama siswa di biasakan untuk mawas diri dan mengkritik dirinya sendiri dan penilaian diri orang lain merupakan cara kedua yang penting
·         Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbuka’an yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam dirinya sendiri  mengenai proses perubahan itu.[7]

4.      Implikasi Teori Belajar Humanistik
Guru-guru cenderung berpendapat bahwa pendidikan adalah pewaris kebudayaan, pertanggungjawaban sosial, dan bahan pengajaran yang khusus. Mereka percaya bahwa masalah ini tidak dapat diserahkan begitu saja oleh siswa. Pada Tipe ini seorang Guru memberikan sebuah tekanan akan perlunya sesuatu rencana pelajaran yang telah disiapkan dengan baik, materi yang disusun secara logis, dan tujuan instruksional yang tertentu, dan mereka mempunyai kecenderungan untuk “memperoleh jawaban yang benar”. Guru senang pada suatu pendekatan sistematik yang memanfaatkan pengetahuan hasil penelitian pada kondisi-kondisi belajar yang diperlukan bagi siswa untuk mencapai hasil yang telah ditentukan.[8]

5.      Kelebihan dan Kekurangan Teori belajar Humanistik
·         Kelebihannya:
a.       Siswa akan maju menurut iramanya sendiri dengan suatu perangkat materi yang sudah ditentukan lebih dulu untuk mencapai suatu perangkat tujuan yang telah ditentukan pula karena para siswa bebas menetukan cara mereka sendiri dalam mencapai tujuan mereka sendiri.
b.      Pendidik aliran Humanistik mempunyai perhatian yang murni dalam pengembangan anak-anak (perbedaan dari per individu)
c.       Ada perhatian yang kuat terhadap pertumbuhan pribadi dan perkembangan siswa secara individual dan hubungan-hubungan manusia ini adalah suatu uasaha untuk mengimbangi keadaan-keadaan baru yang selalu yang di jumpai oleh siswa, baik di dalam masyarakat.
d.      Memperoleh pengetahuan secara meluas tentang sejarah, sastra, pengolahan strategi untuk berfikir produktif, karena pendekatan Humanistik merupakan suatu pengembangan nilai-nilai dan sikap pribadi yang yang dikehendaki secara sosial.
e.       Para siswa dapat memilih suatu pelajaran agar mereka dapat mencurahkan waktu mereka bagi bermacam-macam tujuan belajar atau sejumlah pelajaran yang akan dipelajari atau jenis-jenis pemecahan masalah dan aktivitas-aktivitas kreatif yang akan dilakukan.[9]
·         Kekurangannya:
a.         Siswa yang tidak mau memahami potensi dirinya akan ketinggalan dalam proses belajar.
b.        Siswa yang tidak aktif dan malas belajar akan merugikan diri sendiri dalam proses belajar.

B.     Teori Konstruktivisme
1.      Pandangan Konstruktivisme tentang Belajar

Pendekatan konstruktivisme dalam belajar dan pembelajaran didasarkan pada perpaduan antara beberapa penelitian dalam psikologi kognitif dan psikologi sosial, sebagaimana teknik-teknik dalam modifikasi perilaku yang didasarkan pada teori operant conditioning dalam psikologi behavioral. Premis dasarnya ialah bahwa inividu harus secara aktif “membangun” pengetahun dan keterampilannya dan informasi yang ada diperoleh dalam proses membangun kerangka oleh pelajar dari lingkungan di luar dirinya.
Konstruktivisme memahami hakikat belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan mencoba memberi makna pada pengetahuan sesuai pengalamannya. Pengetahuan itu sendiri rekaan dan bersifat tidak stabil. Oleh karena itu, pemahaman yang diperoleh manusia senantiasa bersifat tentatif dan tidak lengkap. Pemahaman manusia akan semakin mendalam dan kuat jika teruji dengan pengalaman-pengalaman baru.
Secara filosofis, belajar menurut teori konstruktivisme adalah membangun pegetahuan sedikit demi sedikit, yang kemuian hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong pengetahuan adalah bukan seperangkat fakta-fakta, konsep-konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstuksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.[10]
Perspektif konstruktivisme juga mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan pada proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan dinilai penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai penting. Dalam proses belajar, hasil belajar, cara belajar, dan strategi belajar akan mempengaruhi perkembangan tata pikir dan skema berpikir seseorang. Sebagai upaya memperoleh pemahaman atau pengetahuan, siswa ”mengkonstruksi” atau membangun pemahamannya terhadap fenomena yang ditemui dengan menggunakan pengalaman, struktur kognitif, dan keyakinan yang dimiliki. Dengan demikian, pemahaman atau pengetahuan dapat dikatakan bersifat subyektif oleh karena sesuai dengan proses yang digunakan seseorang untuk mengkonstruksi pemahaman tersebut.
Belajar, menurut teori belajar konstruktivistik bukanlah sekadar menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil ”pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari ”pemberian” tidak akan bermakna. Adapun pengetahuan yang diperoleh melalui proses mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap individu akan memberikan makna mendalam atau lebih dikuasai dan lebih lama tersimpan/diingat dalam setiap individu.
Dalam proses belajar di kelas, menurut Nurhadi dkk, (2004), siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikan pngetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivisme ini adalah ide. Siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain. Dengan dasar itu, maka belajar dan pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan “menerima” pengetahuan.
Oleh karena itu, Slavin menyatakan bahwa dalam proses belajar dan pembelajaran siswa harus terlibat aktif dan siswa menjadi pusat kegiatan belajar dan pembelajaran di kelas. Guru dapat memfasilitasi proses ini dengan mengajar menggunakan cara-cara yang membuat sebuah informasi menjadi bermakna dan relevan bagi siswa. Untuk itu, guru harus memberi kesepatan pada siswa untuk menemukan atau mengaplikasikan ide-ide mereka sendiri, di samping mengajarkan siswa untuk menyadari dan sadar akan strategi belajar mereka sendiri.

2.      Sejarah Konstruktivisme
Revolusi konstruktivisme mempunyai akar yang kuat dalam sejarah pendidikan. Perkembangan konstruktivisme dalam belajar tidak terlepas dari usaha keras Jean Piaget dan Vygotsky. Kedua tokoh ini menekankan bahwa perubahan kognitif ke arah perkembangan terjadi ketika konsep-konsep yang sebelumnya sudah ada mulai bergeser karena ada sebuah informasi baru yang diterima melalui proses keseimbangan (dissequilibrium). Selain itu, Jean Piaget dan Vygotsky juga menekankan pada pentingnya lingkungan sosial dalam belajar dengan menyatakan bahwa integrasi kemampuan dalam belajar kelompok akan dapat meningkatkan peubahan secara konseptual. Berikut ini kan dibahas konsep Jean Piaget dan Vygotsky tentang belajar yang merupakan dasar bagi pendekatan konstruktivisme dalam belajar.
a.       Konsep Belajar Konstruktivisme Jean Piaget
Teori belajar konstruktivistik disumbangkan oleh Jean Piaget, yang merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor konstruktivisme. Pandangan-pandangan Jean Piaget seorang psikolog kelahiran Swiss (1896-1980), percaya bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan objek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada siswa agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Piaget dalam Winataputra (2007:6.8) menjelaskan pentingnya berbagai faktor internal seseorang seperti tingkat kematangan berpikir, pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya, konsep diri, dan keyakinan dalam proses belajar. Berbagai faktor internal tersebut mengindikasikan kehidupan psikologis seseorang, serta bagaimana dia mengembangkan struktur dan strategi kognitif, dan emosinya.
Dalam mengimplementasikan teori belajar ini, digunakan strategi pendekatan diskusi dan praktik, sehingga memungkinkan peserta didik untuk berinteraksi dengan lingkungannya baik peralatan yang ada ataupun dengan teman sebaya untuk menemukan pengetahuan baru. Dalam hal ini peran guru hanya mendorong agar mereka saling memberi pengalaman ataupun pengetahuan sehingga proses pembelajaran menjadi menarik bagi mereka. Waktu untuk mempresentasikan di akhir pelajaran merupakan usaha untuk melibatkan siswa di hadapan siswa yang lain sehingga diharapkan dapat memotivasi siswa lainnya untuk berusaha melakukan hal yang sama di lain kesempatan.
Menurut Piaget, manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti sebuah kotak-kotak yng masing-masing mempunyai makna yang berbeda-beda. Pengalaman yang sama bagi seseorang akan dimaknai berbeda oleh masing-masing individu dan disimpan dalam kotak yang berbeda. Setiap pengalaman baru akan dihubungkan dengan kotak-kotak atau struktur pengetahuan dalam otak manusia. Oleh karena itu, pada saat manusia belajar, sebenarnya telah terjadi dua proses dalam dirinya, yaitu proses organisasi informasi dan proses adaptasi.
Proses organisasi adalah proses ketika manusia menghubungkan informasi yang diterimanya dengan srtuktur-struktur pengetahuan yang sudah disimpan atau sudh ada sebelumnya dalam otak. Melalui proses organisasi inilah, manusia dapat memahami sebuah infformasi baru yang didapatnya degan menyesuaikan informasi tersebut dengan struktur pengetahuan yang dimilikinya sehimgga manusia dapa mengasimilasikan atau mengakomodasikan informasi atau pengetahuan tersebut.
Proses adaptasi ialah proses yang berisi dua kegiatan. Pertama,  menggabugkan atau mengintegrasikan pengetahuan yang diterima oleh manusia tau disebut dengan asimilasi. Kedua, mengubah struktur pengetahuan yang sudah dimiliki dengan struktur pengetahuan baru, ehingga akan terjadi keseimbangan (equilibrium). Dalam proses daptasi ini, Piaget mengemukakan empat konsep dasar, yaitu skemata, asimilasi, akomodasi, dan keseimbangan.
Pertama, skemata. Yaitu suatu struktur mental atau koqnitif yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi  dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya,[11] Manusia selalu berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Manusia cenderung mengorganisasikan tingkah laku dan pikirannya. Hal itu mengakibatkan adanya sejumlah struktur psikiogis yang berbeda bentuknya pada setiap fase atau tingkatan perkembangan tingkah laku dan kegiatan berpikir manusia. Struktur ini disebut struktur pikiran (intellectual scheme). Dengan demikian, pikiran harus memiliki sutu struktur yaitu skema yang berfungsi melakukan adaptasi dengan lingkungan dan menata lingkungan itu secara intelektual.
Secara sederhana skemata dapat dipandang sebagai kumpulan konsep atau kategori yang digunakan individu ketika ia berinteraksi dengan lingkungan. Skemata ini senantiasa berkembang. Rtinya, ketika kecil seorang anak hanya memiliki beberpa skemata saja, tapi setelah beranjak dewasa skemataanya secar berangsur-angsur bertambah banyak, luas, beraneka ragam, dan kompleks. Perkembangan ini dimungkinkan oleh stimulus-stimulus yang dialaminya yang kemudian diorganisasikan dalam pikirannya. Piaget mengatakan bahwaskemata orang dewasa berkembangmulai dari skemata anak  melalui proses adaptasi sampai pada penataan dan organisasi. Makin mampu seseorang membedakan satu stimulus dengan stimulus lainnya, makin banyak skemata yang dimilikinya. Dengan demikian, skemata adalah struktur kognitif yang selalu berkembang dan berubah. Proses yang menyebabkan danya perubahan tersebut adalah asimilasi dan akomodasi.
Kedua, asimilasi. Asimilasi merupakan proses kognitif dan penyerapan pengalaman bar ketika seserang memdukan stimulus atau persepsi kedalam skemata atau perilaku yang sudah ada. Misalnya, seorang anak belum pernah melihat seekor ayam. Stimulus ayam, yang dialaminya akan diolah dalam pikirannya, dicocok-cocokkan dengan skemata-skemata yan telah ada dalam struktur mentalnya. Mungkin saja skemata yang paling dekat dengan ayam adalah burung, maka ia menyebut ayam itu itu dengan burung besar karena stimulus ayam diasimilasikan ke dalam skmata burung. Nanti, ketika dipahaminya bahwa hewan itu bukan burung besar melainkan ayam, maka terbentuklah skemata ayam dalam struktur pikiran anak itu.
Asimilasi pada dasarnya tidak mengubah skemata, tetapi memengaruhi atau memungkinkan pertumbuhan skemata. Dengan demikian, asimilasi adalah proses kognitif individu dalam usahanya meadapasi dii dengan lingkungannya. Asimilasi terjadi secara kontinu, berlangsun terus-menerus dalam perkembangan kehidupan intelektua anak.
Ketiga, akomodasi. Akomodasi adalah suatu proses struktur kognitif yang berlangsung sesuai dengan pengalaman baru. Proses kognitif tersebut meghasilkan terbentuknya skemata baru dan berubahnya skemata lama. Disini, tampak terjadi perubahan secara kualitatif, sedangkan pada asimilasi terjadi perubahan secara kuantitatif. Jadi, pada hakikatya akomodasi menyebabkan terjadinya perubahan atau pengembangan skemata. Sebelum terjadi akomodasi, ketika anak menerima stimulus yang baru, struktur mentalnya menjadi goyah atau disebut tidak stabil. Bersamaan terjadinya proses akomodasi, aka struktur metal tersebut menjadi stabil lagi. Begitu ada stimulus baru lagi, maka struktur mentalnya akan kembali goyah dan selanjutnya setelah terjadi proses akomodasi akan stabil lagi. Begitulah proses asimilasi dan akomodasi terjadi terus-menerus dan menjadikan skemata manusia berkembang bersama dengan waktu dan bertambahnya pengalaman. Mula-mula skemata seseorang masih bersifat sangat umum dan global, kurang teliti, bahkan terkadang kurang cepat, tetapi melalui proses asimilasi dan akomodasi, skemata yang kuran tepat dan kurang teliti tersebut diubah menjadi lebih tepat dan lebih teliti.
Dari uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam asimilasi, individu memaksakan struktur yang ada padanya kepada stimulus yang masuk. Artinya, stimulus dipaksa untuk memasuki salah satu yang cocok dalam struktur mental individu yang bersangkutan. Sebaliknya dalam akomodasi individu dipaksa mengubah struktur mentalnya akan cocok dengan stimulus yang baru itu. Dengan kata lain, asimilasi bersama-samaa dengan akomodasi secara terkoordinasi dan terintegrasi menjadi penyebab teradinya adaptasi intelektual dan perkembangan struktur intelektual.
Keempat, keseimbangan (equilibrium). Dalam proses adaptasi terhadap lingkungan, individu berusaha untuk mencapai struktur menta atau skemata yang stabil. Stabil dalam artian adanya keseimbangan antara proses dan proses akomodasi. Seandainya hanya terjadi asimilasi secara kontinu, maka yang bersangkutan hanya akan memiliki beberapa skemata global dan ia tidak dapat meliha perbedaan antara berbagai hal. Sebaliknya, jika akomodasi saja yang terajadi secara kontinu, maka individu hanya akan memiliki skemata yang kecil-kecil saja, dan mereka tidak memiliki skemata yang umum. Individe tersebut tidak akan memiliki persamaan-persamaan di antara berbagai hal. Itulah sebabnya ada keserasian diantara asimilasi dan akomodasi yang oleh Jean Piaget disebut dengan keseimbangan atau equilibrum.
Proses adaptasi juga dipengaruhi oleh faktor herediter dan lingkungan, sehingga hal ini mempengaruhi kemampuan seseorang untuk melakukan proses asimilasi, akomodasi, dan keseimbangan. Faktor keturunan yang baik berkaitan dengan proses-proses adaptasi akan memengaruhi, walaupu faktor lingkungan lebih memiliki pengaruh.
Jelaslah, proses adaptasi adalah keseimbangan antara proses-proses asimilasi dan akomodasi. Apabila idividu melalui proses asimilasinya tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan, terjadilah ketidakseimbangan. Keseimbangan itulah yang mendorong terjadinya proses akomodasi dimana struktur kognitifnya sebelumnya mengalami perubahan atau penambahan skema sehingga terciptalah keseimbangan. Jadi, perkembangan intelektual adalah suatu proes yang kontinu dari keadaan seimbang dan yang terjadi setiap saat, pada fase perkembangan manusia.
Proses adaptasi manusia dalam menghadapi pengetahuan baru juga ditentukan oleh fase perkembangan kognitifnya. Jean Piaget membagi fase perkembangan manusia kedalam empat fase perkembangan, yaitu :
Tahap
Usia/Tahun
Gambaran
Sensorimotor
0-2
Bayi bergerak dari tindakan reflex instingtif pada saat lahir samapi permulaan pemikiran simbolis. Bayi membangun suatu pemahaman tentang dunia melalui pengkoordinasian pengalaman-penglaman sensor dengan tindakan fisik.
Operational
2-7
Anak mulai mengintepretasikan dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar


Kata-kata dan gambar-gambar ini menunjukkan adanya peningkatan pemikiran simbollis dan melampaui hubungan informasi sensor dan tindak fisik.
Concrete Operational
7-11
Pada saat ini anak dapat berfikir secara logis mengenai peristiwa-peristiwa yang kongkret dan mengklasifikasikan benda-benda kedalam bentuk-bentuk yang berbeda.
Formal Operation
11-15
Anak remaja berfikir dengan cara yagn lebih abstrak dan logis pemikiran lebih idelistik.

Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran yaitu :
1.    Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karenanya guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berpikir mereka.
2.    Anak-anak akan belajar lebih baik apabila menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
3.    Bahan yang dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tapi tidak asing.
4.    Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5.    Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-teman.
b.      Konsep Belajar Konstruktivisme Vygotsky
Salah satu konsep dasar pendekatan konstruktivisme dalam blajar adalah adanya interaksi sosial individu dengan ligkungannya. Menurut Vygotsky, belajar adalah sebuah proses yang melibatkan dua elemen penting. Pertama, belajar merupakan proses secara biologi sebagai proses dasar. Kedua, proses secara psikososial sebagai proses yang lebih tinggi dan esensinya berkaitan dengan lingkungan sosial budaya. Sehingga, lanjut Vygotsky munculnya perilaku seseorang karena intervening kedua elemen tersebut. Pada saat seseorang mendapatkan stimulus dari lingkungannya, ia akan menggunakan fisiknya berupa alat inderanya untuk menangkap atau menyerap stimulus tersebut, kemudian dengan menggunakan syaraf otaknya, informasi yang telah diterima tersebut diolah.
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.
Vygotsky menekankan pentingnya peran interksi sosial bagi perkembangan belajar seseorang. Vygotsky percaya bahwa belajar dimulai ketika seorang anak dalam perkembangan zone proximal yaitu suatu tingkat yang dicapai oleh seorang anak ketika ia melakukan perilaku sosial. Zone ini juga dapat diartikan sebagai seorang anak yang tidak dapat melakukan sesuatu sendiri tetapi memerlukan bantuan kelompok atau orang dewasa. Dalam bela jar, zone proximal ini dapat dipahami pula sebagai selisih antara apa yang bisa dikerjakan seseorang dengan kelompoknya atau dengan bantuan orang dewasa. Maksimalnya perkembangan zone proximal ini tergantung pada intensifnya interaksi antara seseorang dan lingkungan sosial.
Menurut Vygotsky, fungsi mental tingkat tinggi biasanya ada dalam percakapan atau komunikasi dan kerjasama diantara individu-individu (proses sosialiasi) sebelum akhirnya itu berada pada diri individu (internalisasi). Oleh karena itu, pada saat seseorang berbagi pengetahuan dengan orang lain, dan akhirnya pengtahuan itu menjadi pengetahuan personal, disebut dengan private speech. Disini Vygotsky ingin menjelaskan bahwa adanya kesadaran sebagai akhir dari sosialisasi tersebut.
Menurut Vygotsky, pentingnya interaksi sosial dalam perkembangan kognitif telah melahirkan konsep perrkembangan kognitif. Perkembangan kognitif manusia ini berkaitan erat dengan perkembangan bahasanya. Karena bahasa merupakan kekuatan bagi perkembangan menta manusia, untuk itu Vygotsky membagi perkembangan kognitif yang didasarkan pada perkembangan bahasa menjadi empat tahap.
Preintelectual speech, yaitu tahp awal dalam perkembangan kognitif ketika manusia baru lahir, yang ditunjukkan dengan adanya proses dasar secara biologis (menangis, mengoceh, dan gerakan-gerakan tubuh seperti menghentakkan kaki, menggoyanggoyangkan tangan) yang secara perlahan-lahan berkembang menjadi bentuk yang lebih sempurna seperti berbicara dan berperilaku. Manusia dilahirkan dengan kemampuan bahasa untuk digunakan berinteraksi dengan lingkungannya sehingga perkembangan bahasa menjadi lebih maksimal.
Naive psychology, yaitu tahap kedua dari perkembangan bahasa ketika seorang anak mengeksplore atau menggali objek-objek konkret dalam dunia mereka. Pada tahap ini anak mulai memberi nama atau label terhadap objek-objek tersebut dan telah mengucapkan beberapa kata dalam berbicara. Ia dapat memahami pemahaman verbal dan dapat menngggunakannya untuk berkomunikasi dengan lingkungannya, sehingga hal ini dapat lebih mengembangkan kemampuan bahasanya yang akan memengaruhi cara berpikir dan lebih meningkatkan hubungannya dengan orang lain.
Egocentric Speech. Tahap ini terjadi ketika anak berusia 3 tahun. Pada tahap ini, anak selalu melakukan percakapan tanpa memedulikan orag ain atau apakah orang lain mendengarkan mereka atau tidak.
Inner speech. Tahap ini memberikan fungsi yang penting dalam mengarahkan perilaku seseorang. Misalnya, pikiran seorang gadis kecil usia 5 tahun yang ingin mengambil buku di atas lemari. Ketika ia meraih buku itu dengan tangan, ternyata tagannya tidak dapat mecapai buku tersebut. Kemudian ia mengataakan pada dirinya, “aku butuh kursi untuk mengambil buku itu”. Selanjutnya ia mengambil kursi dan naik kursi untuk mengambil buku, dan ia mengatakan pada dirinya, “Ok,  sedikit agi aku dapat meraih buku itu. Oh ya, aku harus berjinjit agar dapat meraih buku itu”. Dari contoh tesebut dapat dilihat bagaimana ucapan yang ditujukn pda dirinya sendiri dapat memberikan arah bagi perilakunya. Sama dengan gadis kecil tersebut, orang dewasa sering juga meggunakan inner speech untuk mengarahkan perilaku dan menyelesaikan tugas-tugas sulit yang harus dipecahkan.
Ide dasar lain dari teori belajar Vygotsky adalah  scaffolding. Scaffolding adalah memberikan dukungan dan bantuan kepada seorang anak yang sedang pada awal belajar, kemudian sedikit demi sedikit mengurangi dukungan atau bantuan tersebut setelah anak mampu untuk menyelesaikan problem dari tugas yang dihadapinya. Ini ditujukan agar anak dapat belajar mandiri. Contohnya, sorang ibu yan menggunakan scaffolding untuk membantu anaknya belajar menyemr sepaunya sendiri, mula-mula ia dibantu dengan instruksi dan contoh bagaimana membersihkan sepatu, ib tersebut membbiarkan anakna sendiri melakukan tugas tersebut.

3.      Strategi belajar Konstruktivisme
Pendekatan konstruktivisme memiliki beberapa strategi dalam proses belajar. Strategi-strategi belajar tersebut adalah :
a.         Top-down processing. Dalam pembelajaran konstruktivisme siswa belajar dimulai dari masalah yang kompleks untuk dipecahkan, kemudian menghasilkan atau menemukan keterampilan yang dibutuhkan. Msalnyam siwa diminta uuntu menulis kalimat-kalimat, kemudian dia akan bbelajar uuntukk membaca, bellajar tentang tata bahasa kalimat kkalimat tersebut, dan kemudian bagaimana menulis tiik dan komnya. Bellajar dengan pendekatan top-down processing ini berbeda dengan pendekatan bottom-up processing  yang tradisional dimana ketrampilan dibangun secara perlahan-han melalui ketrampilan.
b.         Cooperative learning. Yaitu strategi yang digunakan untuk proses belajar, dimana siswa akan lebih mudah menemukan secara komprehensif konsep-konsep yang sulit jika mereka mendiskusikannya dengan siswa lain*tentang problem yang dihadapinya.  Dalam strategi cooperative learning siswa belajar dalam pasangan-pasangan atau kelompok untuksaling membantu memecahkan problem yang dihadapi. Cooperative learning  ini lebih menekankan pada lingkungan sosial belajar dan menjadian kelompok belajarsebagai tempat untuk mendapatkan konsep-konsep dasar yang dikemukakan oleh Piaget dan Vygotsky.
c.         Generative learning. Strategi ini menekankan pada adanya iintegrasi yang aktif antara materi dan pengetahuan yang baru diperoleh oleh skemata. Sehingga dengan menggunakan pendekatan generative learning diharapkan siswa lebih melakukan proses adaptsi ketika menghadapi stimulus baru. Selain itu juga, generative learning ini mengajarkan sebua metode yng untuk melakukan kegiatan mental saat belajar, seperti membuat pertanyaan, kesimpulan, atau analogi-analogi terhadap apa yang sedang dipelajarinya.
Yang sangat penting daam teori konstrukivisme adalah bahwa dalam proses belajar siswalah yang harus mendapatkan tekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukannya guru atau orang lain. Mereka yang harus bertanggugjawab terhadap hasil belajarrnya penekanan belajar siswa aktif ini dalam dunia pendidikan, terlebih di Indonesia kiranya sangat penting dan perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif mereka. Mereka akan terbantu mejadi orang yang kritis menganalisis suatu hal karena mereka berpikir dan bukan meniru saja. Kita para pendidik diajak untuk tidak mematikan kerativitas mereka, tetapi menunjukkan apakah gagasan, ide, dan interprestasi mereka itu sungguh berjalan dan berlaku.[12]

4.      Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Konstrutivistik
Kelebihannya:
a.       Memotivasi siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri
b.      Mengembangkan kemapuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari sendiri jawabannya.
c.       Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian aau pemahaman konsep secara lengkap
d.      Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.[13]
e.       Akan menghasilkan atau menemukan sebuah keterampilan yang di butuhkan karena belajar dimulai dari masalah yang kompleks untuk dipecahkan.
f.       Siswa akan lebih mudah menemukan secara komprehensif konsep-konsep yang sulit jika mereka mendiskusikannya dengan siswa yang lain tentang problem yang dihadapi.
g.      Siswa menjadi lebih melakukan proses adaptasi ketika menghadapi stimulus baru.

Kekurangannya:
a.       Sulit mengubah keyakinan Guru yang sudah terstruktur bertahun-tahun menggunakan pendekatan tradisional.
b.      Guru Konstruktivistik dituntut untuk lebih kreatif dalam merencanakan pelajaran dan memilih atau menggunakan media.
c.       Pendekatan konstruktivis menuntut perubahan siswa evaluasi, yang mungkin belum bisa diterima oleh otoritas pendidik dalam waktu yang dekat.
d.      Fleksibilitas kurikulum mungkin masih sulit diterima oleh guru yang terbiasa dengan kurikulum yang terkontrol.
e.       Siswa dan orang tua mungkin memerlukan waktu beradaptasi dengan proses belajar dan mengajar yang baru.[14]






BAB III
KESIMPULAN
A.    Teori Belajar Humanistik
Teori Humanistik mengemukakan bahwa kreativitas sebagai hasil dari kesehatan psikologis tingkat tinggi dan  teori ini percaya bahwa kreativitas dapat berkembang selama hidup. Perhatian psikologi tertuju pada masalah bagaimana tiap-tiap individu dipengaruhi dan di bimbing oleh maksud-maksud pribadi  yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri.
Para Tokoh teori belajar yang bersifat Humanistik ini, adalah:
Combs : Untuk memahami perilaku seseorang, maka kita harus mencoba memahami dunia persepsi orang itu, dengan kata lain, apabila kita ingin merubah perilaku seseorang, kita harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan orang itu, dari Perilaku dalamlah yang membedakan seseorang dengan lain. Untuk itu dalam proses belajar, ada dua hal yang penting, yaitu: pertama Pemerolehan informasi baru, kedua Personalisasi informasi ini pada individu. Dengan personalisasi, yang dimaksudkan bahwa seseorang memperoleh arti dari informasi yang diperolehnya itu bagi dirinya.
Maslow      : Teorinya didasarkan atas asumsi bahwa di dalam diri seseorang itu ada dua hal:
pertama suatu usaha yang positif untuk berkembang, dan kedua kekuatan untuk melawan dan memolak perkembangan itu. Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) mausia itu secara hierarchis menjadi: pertama kebutuhan fisiologis, kedua kebutuhan akan rasa aman (safety), ketiga kebutuhan akan cinta kasih dan memiliki/ dimiliki (love and belonging), keempat kebutuhan untuk mengetahui dan mengartikan sesuatu, kelima kebutuhan akan penghargaan, keenam kebutuhan akan kebebasan bertingkah laku tanpa hambatan-hambatan dari luar.
Rogers       : Menurut Carl Rogers tiga kondisi Internal dari pribadi yang kreatif adalah: pertama Keterbukakan dalam pengalaman kedua Kemampuan untuk menilai situasi sesuai dengan patokan pribadi seseorang (internal locus of evaluation), ketiga Kemampuan untuk bereksperimen, untuk “bermain” dengan konsep-konsep.
B. Teori Belajar Konstruktivistik
Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran siswalah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukannya guru atau orang lain. Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru.
Tokoh-Tokoh Belajar yang bersifat Konstruktivistik adalah:
Piaget:  teori pengetahuan itu pada dasarnya adalah teori adaptasi pikiran ke dalam suatu realitas, adapun proses-proses baku yang di gunakan untuk menjelaskan proses mencapai pengertian. Skema/ skemata, Yaitu suatu struktur mental atau koqnitif yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi  dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya, Asimilasi, Yaitu proses koqnitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi konsep, ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada di dalam pikirannya, Akomodasi, Dapat terjadi dalam menghadapi rangsangan atau suatu pengalaman yang baru, karena seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skema yang telah ada. Equilibration adalah proses dari disequilibirium ke equilibrium yang berjalan terus melalui asimilasi dan akomodasi. Equilibration akan membuat seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamnya (skemata), bila terjadi adanya ketidak seimbangan, maka seseorang dipacu untuk mencari keseimbangan dengan jalan asimilasi dan akomodasi. Teori adaptasi Intelek, Skema dapat di kembangkan dan di ubah melalui proses asimilasi dan akomodasi. Skema berkembang seturut perkembangan intelektual, khususnya dalam taraf operasional formal.
Vygotsky: Salah satu konsep dasar pendekatan menurut Vygotsky adalah adanya interaksi sosial individu dengan lingkungannya. menurut Vygotsky, belajar adalah sebuah proses yang melibatkan dua elemen penting. Pertama, belajar merupakan proses secara biologi sebagai proses dasar. Kedua, proses secara psikososial sebagai proses yang lebih tinggi dan esensinya berkaitan dengan sosial dan budaya.


DAFTAR PUSTAKA
Dr. Paul Suparno. 1997.  Filsafat Konstruktivisme dalam pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Filsafat.
Drs. H. Baharuddin, M. Pd. I & Esa Nur Wahyuni,  M. Pd. I. 2010.  Teori Belajar dan Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Drs. Tadjab M. A. 1994. Ilmu Jiwa Pendidikan. Surabaya: Karya Aditama.
Drs. Wasti Soemanto. 1990. Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Prof. Dr.  H. Yatim Riyanto, M. Pd. 2010. Paradiqma Baru Pembelajaran sebagai refrensi bagi pendidik dalam implementasi pembelajaran yang efektif dan berkualitas. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Prof. Dr. S. C Utami Munandar. 2002.  Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.



[1] Drs. Wasti Soemanto.  Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. (Jakarta: RINEKA CIPTA, 1990). Hlm. 129
[2] Prof. Dr. S. C Utami Munandar. Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002). Hlm.
[3] Drs. Tadjab M. A.  Ilmu Jiwa Pendidikan.(Surabaya: KARYA ADITAMA, 1994). Hlm. 79  
[4] Drs. Wasti Soemanto. Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. (Jakarta: RINEKA CIPTA, 1990). Hlm. 130
[5] Drs. Wasti Soemanto, Ibid., hlm. 131
[6] Prof. Dr. S. C Utami Munandar. Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002). Hlm.
[7] Drs. Wasti Soemanto. Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. (Jakarta: RINEKA CIPTA, 1990). Hlm. 132
[8] Drs. Wasti Soemanto. Ibid., hlm. 237
[9] Drs. Wasti Soemanto. Ibid., hlm. 238
[10] Drs. H. Baharuddin, M. Pd. I & Esa Nur Wahyuni,  M. Pd. I. Teori Belajar dan Pembelajaran. (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010). Hlm. 156
[11] Dr. Paul Suparno.  Filsafat Konstruktivisme dalam pendidikan (Yoqyakarta: Pustaka Filsafat,1997). hlm. 30
[12] Dr. Paul Suparno.  Filsafat Konstruktivisme dalam pendidikan (Yoqyakarta: Pustaka Filsafat,1997). hlm. 81
[13] Prof. Dr.  H. Yatim Riyanto, M. Pd. Paradiqma Baru Pembelajaran.(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010). Hlm. 147
[14] Prof. Dr. H. Yatim Riyanto, M. Pd. I. Paradiqma Baru Pembelajaran Sebagai Refrensi Bagi Pendidik Dalam Implementasi Pembelajaran Yang Efektif  Dan Berkualitas.(Jakarta: Kencana Premedia Group, 2009). hlm. 155

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS